Sampang Mencoba Memasukkan Ruh PNPM dalam Perencanaan Reguler
PNPM Mandiri Perdesaan merupakan program pemberdayaan yang mempunyai ciri khas tersendiri, khususnya dalam hal proses pengambilan keputusan. Proses ini mencakup perencanaan, pelaksanaan, maupun pemeliharaan kegiatan. Pengambilan keputusan senantiasa dilakukan melalui musyawarah dengan mengutamakan keterlibatan rumah tangga miskin (RTM) dan kaum perempuan. Inilah sejatinya ruh PNPM yang tidak boleh melemah, apalagi hilang.
Mengapa rumah tangga miskin? Sebab, mereka adalah kelompok sasaran. Mereka yang tahu pahit getirnya, derita dan nestapa yang dialami di tengah kehidupan yang semakin maju ini. Sehingga sudah sangat wajar jika mereka sendiri yang menyebutkan kesulitan, penderitaan, dan masalah-masalahnya, lalu membuat usulan program untuk mengatasi berbagai masalah tersebut.
Mereka juga paling berhak untuk menentukan pelaksanaan kegiatan, mengawasi, lalu memeliharanya. Sebab, PNPM berbicara seputar mereka. Bagaimana mengatasi masalah mereka, meningkatkan peran mereka, kesejahteraan mereka, dan juga kemandirian mereka. Sehingga sangat ironis dan tidak adil atau bahasa sarkatisnya keluar dari jalur PNPM jika keputusan dalam berbagai tingkatan musyawarah lebih ditentukan oleh para elit pemerintahan.
Untuk memastikan Mesi Suci PNPM ini dilaksanakan dengan baik, maka dalam proposal maupun pelaporan setiap kegiatan PNPM selalu disediakan kolom keterlibatan RTM dan perempuan. Wujud nyata dari ini semua, setidaknya Musdes Sosialisai akan menghasilkan pelaku PNPM di tingkat desa (KPMD, TPU, TPK, TM, TP3) yang paling dikehendaki atau paling mewakili RTM dan juga adanya unsur perempuan. Demikian juga Musdes Perencanaan (MD II) menghasilkan usulan yang paling diperlukan oleh RTM, juga wakil-wakil yang dikirim ke MAD II mencerminkan keterwakilan suara RTM dan perempuan.
Konsep PNPM-MPd yang sudah menjadi sistem baku dan berjalan cukup lama sebetulnya intisarinya adalah kekuatan dalam musyawarah. Jika musyawarah lemah, prosesnya salah, atau bahkan tidak ada musyawarah, maka nilai-nilai pemberdayaan dan pembangunan manusia tidak akan terwujud. Tujuan mulia PNPM akan sulit dicapai. Inilah perlunya fashlitator untuk senantiasa mengawal program. Musyawarah yang baik dapat dilihat dari in put, proses dan out put nya. In put atau masukan terutama peserta mencerminkan keterwakilan unsur teritorial, kelompok sosial budaya (jika masyarakat heterogen), RTM, dan unsur perempuan. Seluruh warga khususnya RTM diberi kesempatan untuk hadir dalam musyawarah meski tidak diundang, atau tidak masuk dalam hak suara. Masukan tentang prinsip, ketentuan, dan aturan-aturan program juga perlu dijelaskan secara detail, sehingga peserta dapat menegur atau meluruskan jika ada proses yang salah atau sengaja dibuat salah.
Proses musyawarah yang baik akan memberi ruang kepada setiap peserta untuk menyampaikan pendapatnya secara bebas tanpa ada rasa takut dan tekanan. Pengambilan keputusan didasarkan p`da suara murni (tanpa tekanan dan intimimidasi) mayoritas peserta. Untuk menjaga kemurnian suara dan memastikan suara tersebut bebas dari intervensi, maka pengambilan keputusan yang ideal dan banyak dilakukan dalam kegiatan PNPM adalah dengan cara voting tertutup. Out put musyawarah hampir dipastikan sangat berkualitas jika in put dan proses berkualitas.
Perencanaan Reguler
Kegiatan musyawarah di tingkat desa dan kecamatan yang senantiasa semarak dan sangat sering dilakukan, mempunyai daya tarik tersendiri bagi perencanaan pembangunan reguler. Bagaimana jika konsep, sistem, dan model PNPM diterapkan dalam perencanaan reguler? Bagaimana jika ruh PNPM dimasukkan? Nah, Sanpang rupanya memiliki keinginan dan semangat yang sangat kuat untuk segera mewujudkan.
Sejak masuk dalam lokasi PNPM Integrasi (dulu P2SPP) tahun 2010, satker Bapemas dan Bappeda sering duduk bersama dengan PNPM dalam forum besar (sejumlah workshop) maupun forum kecil. Bahkan, Bappeda juga senantiasa diundang dalam Rakor bulanan PNPM yang digelar di Bapemas. Dalam r`kor awal bulan tersebut, pesertanya tidak hanya FK, FT, dan PjOK, tetapi juga camat dan UPK. Dengan demikian, sosialisasi integrasi di Sampang berjalan dengan sangat cepat.
Musrenbang Desa kemudian dilaksanakan secara pararel dengan Musdes Perencanaan dengan difasilitasi oleh FK dan PjOK. Camat juga hadir. Out put memang tidak sama, Musdes Perencanaan (MDII) PNPM untuk kegiatan tahun berjalan, sedang Musrenbangdes Reguler untuk tahun berikutnya. Meski demikian, ada hasil luar biasa dari integrasi ini. Ruh PNPM masuk dalam Musrenbang Desa. Camat dan PjOK dapat melihat langsung dan merasakannya.
Hasil dari Musrenbang Desa itu kemudian dibawa dalam Musrenbang Kecamatan yang waktunya bersamaan dengan MAD II. Dalam acara yang dihadiri langsung oleh Bupati Sampang serta Kepala Bapemas, Kepala Bappeda, dan anggota dewan dari Dapil setempat, ruh PNPM juga dimasukkan. Musyawarah dibagian dalam kelompok-kelompok diskusi, lalu diplenokan. Semua mengikuti standar PNPM. Ada pembacaan tata tertib, presentasi desa di tiap-tiap kelompok, skoring di tingkat kelompok, pengumpulan skor ditingkat pleno, lalu perankingan.
Proses Musrenbang Desa dan Kecamatan yang benar-benar partisipatif , rupanya mempunyai daya tarik tersendiri. Rencananya, perencanaan pembangunan partisipatif model PNPM akan dilembagakan dalam sebuah aturan baku berupa Perda yang akan dibahas dan ditetapkan pada tahun 2012 ini.
Dengan adanya Perda, hak-hak masyarakat dalam kegiatan pembangunan akan lebih terlindungi . Ruh PNPM akan semakin masuk, menyatu dan diharapkan mengurat nadi. Bukankah ini hakekat sebenarnya dari integrasi? Sampang, langkah maju yang patut diapresiasi. Agus Bintoro FK Omben/Tim Liputan Rato Ebhu
0 comments:
Posting Komentar
Silahkan ketikkan komentar Anda...
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.