Oleh Meuthia Ganie-Rochman
(Dosen Pengajar UI; mendalami Sosiologi Politik dan Organisasi)
(Dosen Pengajar UI; mendalami Sosiologi Politik dan Organisasi)
Dari
sedikit program pemerintah yang berjalan konsisten dan tumbuh, ada
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat. Program ini untuk
menanggulangi kemiskinan.
PNPM tumbuh dari kegiatan
berbasis partisipasi masyarakat yang sudah ada sejak awal reformasi dan
kini berkembang ke berbagai bentuk program: pedesaan-perkotaan, sektoral
(perikanan, pertanian, kredit usaha kecil), hingga pembangunan sosial
ekonomi wilayah.
Berbeda dari program mengatasi kemiskinan lainnya, program ini sangat diwarnai demokrasi, seperti partisipasi dan kontrol tentang keputusan kegiatan pembangunan tanpa campur tangan pemerintah. Pemerintah tidak hanya membiayai proyek yang dipilih, tetapi juga fasilitator seluruh administrasi pengelolaan dari tingkat lokal ke nasional. Program ini sangat terstruktur, terutama untuk mencegah kebocoran.
Program kebanggaan
PNPM
mirip dengan model partisipatoris di Porto Alegre, Brasil, yang
kemudian menjadi model pembangunan demokratis di banyak negara. PNPM
kini lebih masif dan menjadi salah satu program kebanggaan (flagship)
pemerintahan sekarang.
Dana yang dialokasikan pada tingkat APBN
berkisar 0,8 persen dan ada dana dampingan dari APBD. Setiap kecamatan
mendapat Rp 750 juta-Rp 3 miliar, bergantung pada jumlah penduduk. Tahun
2011 direncanakan akan mencakup lebih dari 6.000 kecamatan.
Dana
diturunkan ke kecamatan untuk dikompetisikan di tingkat di bawahnya.
Fasilitator kecamatan membantu masyarakat kampung atau RT untuk secara
kolektif menentukan apa yang dibutuhkan masyarakat. Jika sudah
disetujui, masyarakat pula yang memilih siapa yang akan mengerjakan
proyek. Dengan mekanisme semacam ini, PNPM diharapkan dapat
memberdayakan ekonomi masyarakat lokal sekaligus mendorong partisipasi
dan inovasi.
Namun, sampai saat ini dampak PNPM masih amat
terbatas, terutama secara ekonomi. Studi-studi oleh PNPM maupun lembaga
lain menunjukkan, dampak ekonomi tidak banyak dan terutama terbatas
pada golongan sangat miskin yang tertolong karena ada proyek
infrastruktur PNPM.
Sebagian dana yang diputuskan untuk proyek
infrastruktur sering kali tidak cukup matang diputuskan oleh masyarakat
setempat. Persoalan yang lebih makro adalah program infrastruktur yang
dipilih merupakan proyek parsial yang kurang terkait potensi lokal
maupun program-program pembangunan di tingkat yang lebih tinggi.
Kelemahan
yang lebih menonjol adalah asumsi tentang rekayasa sosial melalui
program pembangunan. Lepas dari tidak tersedianya fasilitator yang
andal, program itu sendiri tampak tidak siap memperhitungkan karakter
masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan ”demokratis”. Sebagian
besar masyarakat di tingkat lokal sebelum program PNPM masuk belum mempunyai lembaga pengambilan keputusan kegiatan pembangunan yang berjalan baik.
Struktur
yang disediakan negara, yaitu Musyawarah Perencanaan Pembangunan, tak
efektif karena tak ada konsistensi pengusulan di tingkat desa ke
penentuan anggaran daerah di tingkat-tingkat selanjutnya. PNPM belum
berhasil menyatukan desain pengambilan keputusan kolektif dengan
memanfaatkan lembaga yang ada.
Namun, wadah dalam PNPM untuk
mendorong partisipasi lokal, yaitu Badan Keswadayaan Masyarakat/Lembaga
Keswadayaan Masyarakat, bagaimanapun, telah menghasilkan bibit-bibit
perubahan di tingkat lokal. Studi-studi menunjukkan bahwa kelompok
masyarakat lokal, dengan derajat yang berbeda, belajar sesuatu dari
proses pengambilan keputusan kolektif. Wadah ini telah memperkenalkan
sesuatu yang berharga, yaitu membiasakan pengambilan keputusan berdasar
kesadaran akan beragamnya kepentingan dan pertimbangan rasional dalam
kegiatan pembangunan.
Beberapa kasus yang dianggap berhasil
dikondisikan adalah hadirnya pemimpin lokal dan semacam aktivisme
sosial. Namun, fasilitator menghadapi tantangan yang sukar: dominasi
elite lokal, pengambilan keputusan sembarangan, perbedaan akses yang
dimiliki kelompok masyarakat yang berbeda (khususnya kelompok miskin dan
perempuan) yang tidak mempunyai kapasitas bersuara di publik.
Fasilitator andal
Pelajaran
dari Porto Alegre menunjukkan, butuh waktu bertahun-tahun dan
mekanisme fasilitasi yang jauh lebih konsisten serta fasilitator yang
berkemampuan sosial politik dan intelektual, seperti aktivis partai
politik, pemerintah daerah, lembaga swadaya masyarakat, dan keagamaan.
Masalah
lain adalah program ini tidak didesain untuk membangun kapasitas
organisasi ekonomi masyarakat setempat. Program kredit di pedesaan tidak
berhasil karena kelompok pengelola bersifat dadakan dan tidak
melembaga. Akibatnya, dana pinjaman banyak dipakai untuk menutup
kebutuhan dan kegiatan ekonomi sesaat daripada memperkuat kapasitas
ekonomi yang sudah ada. Fasilitator umumnya tidak mempunyai kemampuan
membangun kelompok dan organisasi ekonomi. Wilayah kerja ini harus
ditangani orang yang benar-benar mengerti inovasi sosial kegiatan
ekonomi.
Maka, untuk memperbaiki PNPM perlu beberapa perubahan.
Program tidak boleh berdasarkan pertimbangan pencapaian seluas-luasnya,
melainkan terfokus pada program yang dapat mencapai penguatan ekonomi.
Dalam hal ini tidak selalu tujuan penguatan partisipasi seimbang dengan
penguatan ekonomi.
Tak banyak daerah memiliki kelompok masyarakat
sipil yang siap mendukung. Dalam kondisi semacam itu penguatan aspek
teknokrasi di tingkat kecamatan dan kabupaten harus lebih kuat.
Seharusnya
tidak tertutup kemungkinan untuk menentukan proyek untuk tingkat
kecamatan atau kabupaten sejauh hal itu dipertimbangkan membawa dampak
lebih luas.
Sebagian dana harus dialihkan untuk meningkatkan
kapasitas organisasi dan kelembagaan ekonomi rakyat. Adalah lebih baik
memanfaatkan organisasi dan lembaga yang sudah ada karena kemungkinan
berhasilnya lebih besar. Indonesia, negara sebesar ini, sangat miskin
dalam pengetahuan dan praktik penguatan organisasi dan kelembagaan.
Perbaikan
lain yang juga krusial adalah pengintegrasian dengan program
pembangunan daerah. Selain masalah orientasi dan kapasitas eksekutif,
desain PNPM dari pusat memang tidak banyak memberi tempat pada aspek
ini.
Di negara lain, upaya pembangunan lokal sudah melewati tahap
keterpikatannya dengan jargon-jargon demokrasi yang tidak matang. Saat
ini, di banyak negara, yang diperkuat adalah kerangka tentang kemitraan
pelbagai pihak dalam pembangunan daerah agar mendapat model komitmen
yang lebih baik.
Sumber: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/09/16/04242446/PNPM.dan.Pembangunan.Demokratis